TRADISI SLAMETAN
KUDA-KUDA RUMAH
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(DI DESA KRANDEGAN,KECAMATAN GADING REJO,KABUPATEN PRINGSEWU)
Dosen
Pengampu : Dr.Fitri Yanti,M.A
Penyusun :
Wahyu Prayogi
NPM : 1541010198
Jurusan
: Komunikasi Dan Penyiaran Islam
Semester/Kelas
: 4/C
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
Abstract
Research was conducted in one of the small villages in Gading Rejo Sub-district, Pringsewu District, exactly in Krandegan village. This study examines the in the process of building a new house that is still strongly held by most villagers Krandegan.Penelitian this done with the aim to reveal the phenomenon of kudo-kudo pairs of rituals are still very done in the modern era and still affect the religious and social behavior of village communities Krandegan.Ritual pairs of kudo-kudo is one form of ritual that is still attached to the tradition of Krandegan villagers in every new house building which is also accompanied by selametan. Called as a ritual pairs of kudo-kudo is because the ritual uses a sugarcane rod and its leaves are tufted and mounted standing on one of the roof poles of the house so as to resemble a horse. This kudo-kudo pairs ritual is one of the celebration events of everyone to carry out the salvation that has been.
Become the traditions of society.Java in certain
moments.Methods This research with heuristic stages, historical sources of
criticism, interaction, and histography. This research shows that with the existence
of kudo-kudo pairs ritual performed by Krandegan villagers have a positive
influence as a medium of gratitude for the blessings of God Almighty who has
given rizki so as to be able to establish a new house. Against social and
religious values. Positive influences shown in this research are: Religious
aspect, that is Krandegan village community more often read prayer together and
give thanks in charity. Social aspect, which is to strengthen the rope of
kinship between citizens by working together in building a house.
Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu desa kecil di
Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu tepatnya yaitu di desa Krandegan.
Penelitian ini mengkaji tentang dalam
proses pembangunan rumah baru yang masih sangat dipegang teguh oleh kebanyakan
masyarakat desa Krandegan.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengungkap fenomena ritual pasang kudo-kudo yang masih sangat dilakukan dalam
era modern dan masih berpengaruh terhadap prilaku keagamaan dan sosial masyarakat
desa Krandegan.Ritual pasang kuda-kuda adalah salah satu bentuk ritual yang
masih melekat pada tradisi masyarakat desa Krandegan dalam setiap membangun
rumah baru yang juga disertai dengan selametan. Disebut sebagai ritual pasang
kudo-kudo yaitu karena ritual tersebut menggunakan batang tebu beserta daunnya
yang berumbai dan dipasang berdiri di salah satu tiang atap rumah sehingga
menyerupai ekor kuda.Ritual pasang kudo-kudo ini merupakan salah satu acara
hajatan setiap orang untuk melaksanakan selamatan yang sudah menjadi tradisi
masyarakat.Jawa dalam berbagai moment tertentu.
Metode Penelitian ini
dengan tahap heuristik,kritik sumber sejarah,interretasi,dan histografi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya ritual pasang kudo-kudo yang
dilakukan oleh masyarakat desa Krandegan memiliki pengaruh positif yaaitu
sebagai media bersyukur terhadap nikmat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rizki sehingga mampu mendirikan sebuah
rumah baru. terhadapsegi sosial dan keagamaan. Pengaruh positif yang ditunjukkan
dari penelitian ini adalah: Segi keagamaan, yaitu masyarakat desa
Krandegan menjadi lebih sering membaca
do’a bersama dan bersyukur dengan cara bersedekah. Segi sosial, yaitu
mempererat tali kekerabatan antar warga dengan bergotong royong bersama dalam
membangun rumah.
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Ritual
Ritual secara
harfiah di katakan sebagi suatu kegiatan yamg dilakukan oleh sekelompok orang
atau perorangan dengan tata cara tertentu.Bedasarkan ilmu antropologi agama
ritual dapat di artikan sebagai pelaku tertentu yang bersifat formal,di lakukan
dalam waktu tertentu secara berkala,bukan sekedar sebagai rutinitas yang
bersifat teknis,melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius
terhadap kekuasaan atau kekuatan mistis. Sedangkan di dalam kamus besar Bahasa
Indonesia,mengartikan arti ritual adalah hal ihwal ritus atau tata cara dalam
upacara keagamaan.Upacara ritual adalah
sisitem atau rangkaian tindakan atau yang di tata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai peristiwa yang
terjadi saling dalam masyarakat yang bersangkutan.Menurut Homans,C Anthony
Wallace dari segi jangkauan,Ritual dapat di bedakan menjadi:
a. Ritual sebagai teknologi,seperti upacara yamg
berhubungan dengan kegiatan pertanian dan pemburuan.
b. Ritual sebagai terapi,seperti upacara untuk
mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak di inginkan.
c. Ritual sebagai ideologis-mitos dan ritual tergabung
mengendalikan suasana perasaan hati,prilaku,sentimen,dan nilai untuk kelompok
yang baik,
d. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau
penghidupan kembali..
Dari segi tujuan,ritual dapat dibedakan menjadi
3,yaitu:
a. Ritual yang bertujuan untuk bersyukur kepada Tuhan
b. Ritual bertunjuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
c. Ritual yang bertujuan mendapatkan keselamatan dan
rahmat dari Tuhan
d. Ritual bertujuan untuk memintana ampun atas
kesalahan yang dilakukan.
Adat
istiadat atau ritual suatu bangsa itu mulanya timbul dari kepercayaan agama
yaitu pada zaman dahulu manusia sudah mempercayai aliran dinamisme dan animisme
sebelum datangnya agama Hindu,Budha dan
Islam.Contoh adat budaya yang masih bertahan sampai sekarang adalah Selametan
Naik Kuda-Kuda Rumah (KAP),Tahlilan,dan
lain sebagainya.
2.
Slametan Kuda-Kuda Rumah (Slametan KAP)
Jawa memiliki berbagai macam budaya
lokal yang sudah menjadi sebuah kebudayaan yang khas, dan telah dianggap
sebagai ungkapan dan identitas Jawa. Kebudayaan Jawa kental kaitannya dengan
adanya mitos-mitos, mereka sangat percaya dengan adanya roh-roh dan daya magis
yang ada di alam semesta dan juga alam rohani. Eksistensi keberadaan roh-roh
tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ciri utama
kebudayaan Jawa pada masa pra-sejarah adalah kepercayaan terhadap adanya roh
atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan hewan yang disebut sebagai
kepercayaan animisme. Dalam konsep kepercayaan animisme, semua yang bergerak
dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh, baik yang
berwatak buruk maupun baik.[1]
Karena itu, masyarakat Jawa merasa perlu melakukan tindakan tertentu untuk
menolak kejahatan yang dapat muncul dari roh-roh atau kekuatan ghaib tersebut,
dan pada saat yang sama sebagai upaya untuk memperoleh kebaikan darinya berupa berkah.[2]
Biasanya tindakan itu diwujudkan dalam
bentuk ritual-ritual khusus yang disertai dengan sesaji yang juga
diiringi dengan acara selametan. Disamping kepercayaan animisme, ciri
kebudayaan Jawa pada masa pra-sejarah adalah kepercayaan tentang kekuatan yang
menentukan kelangsungan kehidupan seluruhnya.
Kepercayaan inilah yang disebut
kepercayaan dinamisme.Baik kepercayaan animisme maupun dinamisme, masing-masing
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk dan memberi warna
kebudayaan Jawa.Nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh di dalam
masyarakat berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Nilai
nilai dan norma-norma itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat
pada akhirnya menjadi adat istiadat yang diwujudkan dalam bentuk tata upacara
dan masyarakat diharapkan untuk mentaatinya. Demikian pula dalam masyarakat
Jawa upacara adat adalah pencerminan bahwa semua perencanaan,tindakan dan
perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai yangdipancarkan
melalui tata upacara adat merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa
yang serba hati-hati agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan keselamatan
lahir batin. Masyarakat Jawa mempunyai berbagai tata upacara adat sejak sebelum
lahir (janin) sampai meninggal. Setiap tata upacara adat tersebut mempunyai
makna sendiri-sendiri dan sampai saat ini masih cukup banyak yang dilestarikan.
Dalam pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan keadaan. [3]
Di samping adat istiadat beserta tata
upacaranya (temasuk sesaji) di situ juga mengandung pendidikan budi pekerti,
pengetahuan mengenal watak, jenis manusia dan aturan-aturannya. Diantara sekian
banyak Budaya Jawa yang masih melekat dalam kehidupan keberagamaan masyarakat
Jawa yakni adanya Ritual pasang kudo-kudo,merupakan upacara ritual komunal yang
telah mentradisi di kalangan masyarakat Islam Jawa yang diaksanakan untuk
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yaitu ketika membangun sebuah
rumah baru dan pembangunannya telah sampai pada pemasangan kerangka atap
rumah.Rumah adalah salah satu kebutuhan primer bagi setiap orang. Bagi orang
Jawa rumah dianggap sebagai penopang dan lambang kehidupan, orang yang sudah
memiliki rumah berarti orang tersebut dipandang sebagai orang yang sudah mapan
dan berkecukupan. Menjadi orang jawa harus berupaya menciptakan kemanunggalan
dengan alam dan Tuhan, sehingga ia dituntut untuk mengetahui cara-cara yang
beradab dan sepenuhnya sadar akan posisi sosialnya. Orang jawa yang benar
adalah yang tahu tatanan. Oleh karena itu, seorang anak belumlah Jawa sebelum
ia mengerti etika dan budaya. Dalam pengertian Jawa, budaya bukanlah pengertian
antropologi yang kabur, budaya mengandung makna beradab yang bisa berarti
bijaksana, menyadari diri dan orang lain, posisi dan tata cara dalam berbagai
aspek pergaulan. Oleh karena itu peneliti tertarik inginmengetahui lebih jauh
apa yang melatar belakangi pelaksanaan tradisi Slametan Naik Atap Kuda Kuda di
desa Krandegan,Kecamatan Gading Rejo,Kabupaten Pringsewu dikaitkan dengan hukum
islam sehingga peneliti mengambil judul “ Tradisi Slametan Naik Kuda-Kuda Rumah
(KAP) dalam persepektif Islam”.
Bedasarkan Latar Belakang di atas sebagai bahan kajian yaitu :
a. Apa
pengertian dari ritual pasang kudo-kudo tersebut?
b. Apa
sejarah ritual pasang kudo-kudo?
c. Bagaimana
Pelaksanaan tradisi slmetan naik kuda-kuda rumah masyarakat Jawa di desa
Krandegan?
d. Apa
saja perlengkapan dari tradisi tersebut?
e. Apa
pengaruh tradisi slmetan naik kuda-kuda rumah?
f. Bagaimana
relevansi tradisi slametan naik kuda-kuda rumah yang ada di desa Krandegan?
Dengan melihat rumusan masalah ini tersebut tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui makna pelaksanaan tradisi slametan naik kuda-kuda rumah di desa Krndegan,untuk
mengetahui relevansi tradisi slametan naik
kuda-kuda rumah yang ada di desa Krandegan terhadap rukun islam.
Metode yang di gunakan dalam penelitian
ini adalah metode Observasi,Observasi
adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan terhadap
fenomena-fenomena yang akan diteliti.Metode ini digunakan untuk mengumpulkan
data yang berkaitan dengan prosesi pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo dalam
pendirian rumah baru di desa Krandegan ,metode yang ke dua adalah Interview ( wawancara),
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yakni pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
metode inidigunakan untuk mendapatkan informasi-informasi penting dengan
berdialog
dan dengan cara menggali data menggunakan key informan (informasi kunci) yakni
para tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat setempat yang telah
mengetahui dan turut andil dalam pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo di desa
Krandegan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pengertian Slametan Pasang Kuda-Kuda
Rumah di Desa Krandegan
Slametan
adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon
keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Orang
jawa meyakini bahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika
dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan. Ritual
selamatan ataupun gelar sesajen adalah pristiwa yang sudah diakrabi sejak
lahir. Setiap orang Jawa lahir sudah diperkenalkan dengan ritual selamatan
kelahiran dengan segala ubo rampe (perlengkapan).Ritual religius yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa adalah selametan,sebab selametan dilaksanakan
hampir pada semua peristiwa penting dalam hidup seseorang, terutama juga dalam
ritual pasang kudo-kudo ketika seseorang membangun rumah barunya. [4]
Rumah adalah kebutuhan primer yang harus
terpenuhi bagi setiap orang, karena rumah adalah tempat bernaung, tempat
istirahat, tempat berkumpul, tempat
berlindung, tempat bersosialisasi dan lain-lain.[5]
Disamping itu rumah merupakan sebuah identitas kebesaran dan symbol status sosial
dari seseorang. Atribut, ukuran dan model yang dapat dilihat secara visual,
memiliki arti siapa dan bagaimana kedudukan sosial penghuni tempat tinggal
tersebut, karena terkadang orang melihat derajat seseorang dari rumah
kediamannya. Oleh sebab itu tidak heran jika orang banyak berbondong bondong
mendirikan sebuah rumah. Melihat dari sisi betapa pentingnya sebuah rumah, maka
membangun rumah pun tidak asal-asalan dan harus memperhatikan tradisi-tradisi
khusus masyarakat setempat yang masih kental terhadap budaya Jawa.
Dalam tradisi Jawa banyak sekali
ritual-ritual lokal khusus yang masih dipertahankan keeksistensinya dalam
kehidupan, diantaranya yaitu adanya ritual pasang kudo-kudo. Ritual pasang
kudo-kudo adalah salah satu dari serangkaian ritual orang Jawa yang
dilaksanakan ketika mendirikan sebuah rumah. Ritual ini bukan ritual
satu-satunya sebagai syarat dalam pendirian rumah baru, masih ada serangkaian
ritual lain yang diantaranya yaitu ritual buka bumi, ritual nguleni
umah dan lain-lain. Disebut sebagai ritual pasang kudo-kudo yaitu karena
dalam ritual tersebut menggunakan batang tebu dan padi yang dipasang berdiri di
salah satu pilar atap umah beserta daun tebu yang berumbai hingga menyerupai
ekor kuda. Ritual ini sesungguhnya telah ada pada masa lampau pada kalangan
orang-orang primitif, namun ritual ini hingga kini masih dipertahankan dan
dijadikan pedoman bagi masyarakat modern.
Bagi orang Jawa dalam membangun sebuah
rumah bukan hanya ritual dalam pembangunan rumah tersebut yang harus
diperhatikan, namun juga memperhatikan arah hadap rumah tersebut yaitu empat
arah mata angin yang disimbolkan: Utara (Dewa Wisnu, matahari, kuning, sumber
kehidupan duniawi); Selatan (Dewa Anantaboga atau Nyai Loro Kidul, tanah,
hitam, kesabaran dan kasihan); Timur (Dewa Mahadewi, air, biru, keseragaman dan
rasa kebersamaan); Barat (Dewa Yamadipati, api, merah, kebinasaan dan
kematian). [6]Sejarah
asal-usul adanya ritual kudo-kudo yang menjadi sebuah tradisi dalam masyarakat
Jawa ini masih simpang siur sejalan dengan sejarah awal masuknya tradisi
kejawen yang berasal dari nenek moyang terdahulu dan budaya Hindu-Budha pada
masa pra Islam.Akan tetapi adapula yang menyebutkan bahwa asal muasalnya
berasal dari kisah Sri Sedana.
B.
Pelaksanaan Tradisi Slametan Kuda-Kuda
Rumah Di Desa Krandegan
Pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo di
desa Krandegan yaitu ketika pembangunan
rumah seseorang yang sudah mencapai puncaknya, yakni ketika memasang atap
rumah. Ritual ini dilasanakan pada hari-hari yang dikehendaki dan dianggap hari
yang baik oleh shohibul hajjah,namun kebanyakan masyarakat memilih
melaksanakan ritual tersebut pada hari-hari yang memiliki nilai 13 menurut
hitungan orang Jawa, karena menurut kepercayaan orang Jawa hari yang bernilai
13 mempunyai arti “Gedong” yang berarti “Rumah” dan mempunyai maksud “dapat
menjadi kaya”, diantara hari yang bernilai 13 yaitu hari kamis legi, senin
pahing,jum’at pon, sabtu wage, ahad kliwon. Untuk dapat mengetahui dan
menghitung hari-hari tersebut dalam ilmu kejawen waktu dikelompokkan menjadi
hari dan pasaran. Sebagaimana hari biasa itu ada tujuh ialah:[7]
a. Senin
(somo) neptunya = 4
b. Selasa
(hangoro) neptunya = 3
c. Rabu
(budo) neptunya = 7
d. Kamis
(respati) neptunya = 8
e. Jum’at
(sukro) neptunya = 6
f. Sabtu
(jumpak) neptunya = 9
g. Ahad
(adite) neptunya = 5
Sedangkan
pasarannya ada lima yaitu:
a.
Wage neptunya = 4
b.
Kliwon neptunya = 8
c.
Legi neptunya = 5
d.
Pahing neptunya = 9
e.
Pon neptunya = 7
Pada malam hari sebelum pelaksanaan
ritual pasang kudo-kudo, diadakan bentuk ritual kecil, ritual ini dimaksudkan
untuk untuk mendekatipara bidadari atau roh-roh halus supaya melindungi shohibul
hajjah dari marabahaya yang mengganggu jalannya ritual inti yang dilakukan
esok hari dan hari-hari sesudahnya. Untuk itu seluruh anggota keluarga shohibul
hajjah tidak boleh tidur hingga tengah malam. Karena sakralnya acara ini
semestinya para tamu yang terdiri dari para tetangga dekat dan para anggota
keluarga harus melakukannya dengan khusu’ dan khidmat. Dikalangan orang yang
taat beragama dalam acara ini diisi oleh pembacaan tahlil, manaqiban, tadarrus
al-Qur’an, pembacaan kitab mulidud diba’ dan sebagainya. Tapi dikalangan
orang yang kurang taat dalam agama biasanya mengisi acara ini dengan hanya
bercengkrama dan bersenda gurau menikmati hidangan, bagi mereka yang penting
adalah tidak tidur. Acara ini disebut dengan lek-lekan. [8]
Pagi hari sebelum melaksanakan ritual
pasang kudo-kudo terlebih dahulu shohibul hajah wajib menyiapkan berbagai macam
makanan, ingkung ayam dan bubur sengkala, untuk dihidangkan
dimakan bersama sanak saudara, para pekerja, wong soyo yang turut andil
dalam membangu rumah dan tetangga-tetangga sekitarnya. Kegiatan inilah yang
disebut orang Jawa sebagai “selametan”, yang diyakini sebagai sarana
spiritual yang mampu mengatasi segala bentuk krisis yang melanda serta bisa
mendatangkan berkah bagi mereka. Adapun obyek yang dijadikan sarana pemujaan
dalam selametan ini adalah ruh nenek moyang yang dianggap memiliki
kekuatan magis.Disamping itu,selametan juga sebagai sarana mengagungkan,
menghormati, dan memperingati roh leluhur, yaitu para ruh nenek moyang.Di dalam
acara selametan ini biasanya diawali dengan sambutan pengantar dari shohibul
hajjah atau yang mewakili, kemudian dilanjutkan dengan bacaan-bacaan yang
menjadi pokoknya yaitu pembacaan surah al-Fatihah sebagai tawassul yang
ditujuhkan kepada Nabi Muhammad wa ‘ala alihi,para sahabat Nabi, para Anbiya’,
para Waliyullah, dan ahli kubur, kemudian pembacaan sholawat Nabi (mahallul
qiyam) dan ditutup donga (do’a). Dalam selametan ini yang
bertugas memimpin acara dan do’a adalah shohibul hajjah. Selain itu, juga terdapat
berbagai makanan yang dibawa pulang oleh para peserta selametan yang
disebut sebagai berkat.
Setelah acara selametan usai
dilaksanakan, para pekerja, wong soyo, shohibul hajah dan tokoh
pemuka masyarakat kembali pada acara intinya yakni memasang kudo-kudo dan
seperangkat sesaji lainnya seperti seikat padi, tebu, sebuah kelapa tua,
setangkup buah pisang (dua tudung pisang) raja, bendera merah putih dan satu
wadah beras penuh yang seluruhnya disusun rapi dan diletakkan di salah satu
sudut atap rumah, pemasangan ini dilakukan oleh shohibul hajjah dan
dibantu oleh orang-orang yang sudah ahli dalam hal ini. Budaya Jawa memahami
kepercayaan pada berbagai macam roh yang dapat menimbulkan musibah, bahaya,
kecelakaan, atau penyakit apabila mereka dibuat marah karena mengganggunya atau
penganutnya tidak berhatihati.[9]
Untuk menangkal semua itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen dalam berbagai
moment yang dianggap penting dalam kehidupannya, yang dipercaya dapat
menghindarkan manusia dari berbagai hal yang tidak diinginkan. Setelah
pemasangan sesaji ritual kudo-kudo hari berikutnya mulai dipasang pilar-pilar
atap rumah yang mana salah satu pilar tersebut dibungkus dengan kain kafan
(kain putih) yang bertuliskan “do’a nur buat” dan ayat kursi” dan didalamnya
diletakkan sebuah paku emas yang ditancapkan. Dan dilanjutkan pembangunannya
kembali yaitu dengan penataan genting-genting rumah.Do’a Nur Buat yaitu
do’a perlindungan dari segalah kejahatan seperti sihir, santet, dan lain
sebagainya. Setelah segeralah sesaji dan seluruh prosesi sudah terlaksana dan
rumah sudah berdiri lengkap beserta atap-atapnya, maka selesai pula acara
ritual tersebut dan rumah sudah siap untuk dihuni.\
C. Perangkat
dan Pranata Sesaji
Bagi orang Jawa, dunia mengandung
simbolisme, dan melalui simbolsimbol inilah seseorang merenungkan kondisi
manusia dan berkomunikasi dengan Tuhan. Adaya
ritual pasang kudo-kudo tersebut merupakan salah satu dari budaya masyarakat
yang penuh dengan simbol-simbol. Sebagai mahkluk yang berbudaya, segala
tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa,ilmu pengetahuan maupun
religinya selalu diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau
paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada
simbol-simbol. Simbolisme selain menonjol perananya dalam hal religi juga
menonjol peranannya dalam hal tradisi atau adat istiadat. Dalam hal ini
simbolisme dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat
yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi
berikutnya yang lebih muda.
Pandangan Durkheim mengenai makna dan
fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan
kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan
ritual sebagai simbol.[10]Terlepas
dari perlu atau tidaknya suatu ritual digelar, yang jelas untuk memahami ubo rampe atau
perlengkapan sajen upacaranya saja masyarakat zaman sekarang banyak yang tidak
tahu. Bahkan tidak sedikit orang menilai munculnya ubo rampe sajen dalam sebuah
ritual Jawa justru dianggap sebagai pemuja setan. Meslipun tidak sedikit pula
yang menepis bahwa ubo rampe justru menjadi manifestasi rasa syukur atau
perlambangan suatu permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana sering
kita temui, ketika akan melaksanakan suatu kegiatan atau ritual, terutama
kegiatan yang penting dan telah menjadi adat istiadat masyarakat perlu
dipersiapkan adanya sesuatu sebagai perlengkapannya terlebih dahulu. Semua ini
dimaksudkan agar kegiatan yang dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan
yang diinginkan. Adapun perlengkapan dan pranata sesaji yang digunakan dalam selametan
antara lain:[11]
a. Empat
bubur, yang dua diantaranya bubur merah dicampur sedikit bubur putih dan dua
lainnya yaitu bubur putih dicampur sedikit bubur merah, yang disebut dengan
“Bubur Sengkala”. Bubur ini disediakan sebagai sesaji ketika melaksanakan selametan,
fungsinya sebagai penolak balak
b. atau
penolak terhadap musibah yang kelak mungkin akan menimpah. Bubur ini disajikan
dengan posisi berjajar dan searah dengan maksud agar perjalanan hidup penghuni
rumah tersebut berjalan dengan lancar dan lurus serta tidak ada arah yang
melintang.
c. Berbagai
macam makanan, makanan ini terdiri
d. dari dua macam nasi yaitu nasi putih dan nasi
kuning beserta berbagai macam lauk pauknya.Makanan ini disajikan dalam selametan,
fungsinya nasi putih sebagai lambang kesucian dan nasi kuning sebagai lambang
kecintaan. Maksudnya adalah agar keluarga yang tinggal dirumah dapat
menciptakan suasana saling mencintai satu sama lain.
e. Ingkung
ayam,
satu ekor ayam jantan dimasak utuh (dibersihkan bulunya dan dikeluarkan isi
perutnya) dengan dipanggang menggunakan tusuk yang besar. Maknanya adalah
kesucian, bahwa setiap yang diahirkan kedunia dalam keadaan suci, atau dimaknai
juga sebagai sikap pasrah dan menyerah atas kekuasaan Tuhan. Orang Jawa
mengartikan kata ”ingkung” dengan pengertian dibanda adau dibelenggu.
Adapun berbagai macam perlengkapan yang digunakan sebagai pranata sesaji dalam
ritual pasang kudo-kudo diantaranya yaitu:
a. Setangkup
buah pisang yang berarti dua tudung buah pisang raja, menggunakan pisang raja
karena pisang raja dipercaya oleh orang-orang Jawa sebagai simbol tercapainya
sebuah permintaan atau impian.
b. Seikat
padi, seikat padi ini melambangkan rasa syukur dari hasil kerja keras atau
jerih payah selama ini hingga dapat mendirikan sebuah rumah.
c. Sebuah
kelapa tua, buah kelapa tua ini dimaksudkan sebagai simbol keselamatan dan
kesejahteraan, agar penghuni rumah tersebut mendapatkan keselamatan dan
perlindungan dan mencapai hidup yang sejahtera.
d. Satu
batang tebu beserta rumbai daunnya, batang tebu juga mencerminkan bentuk
keselamatan, sedangkan rumbai daunnya melambangakan naungan atau tempat
berlindung. Maksudnya adalah agar kelak rumah tersebut dapat dijadikan sebagai
tempat perindungan dan tempat bernaung dari segala bentuk mara bahaya yang
mengancam, seperti berlindung dari panas matahari, hujan, petir dan lain
sebagainya, sehingga mendapatkan keselamatan.
e. Satu
wadah beras, beras ini melambangkan sandang pangan, maksudnya agar
penghuni rumah tersebut kelak akan tercukupi dipermudahkan jalan rizkinya.
Beras tersebut diisi penuh sesuai wadahnya dimaksudkan agar rizki yang telah
dianugrahkan kepadanya selalu cukup dan tidak berkurang.
f.
Bendera merah putih, bendera ini
memiliki maksud sebagai “Umbulumbul supoya ndang mumbul”, maksudnya
adalah agar pendirian rumah tersebut cepat berdiri dan pembangunannya
lebih cepat selesai.
g. Sebuah
paku yang terbuat dari emas. Paku ini diletakkan pada kayu pilar atap rumah
yang dilubangi seukuran paku hingga seolah-olah paku tersebut menancap pada
kayu, kemudian kayu dan paku tersebut dibungkus dengan kain kafan. Paku ini
melambangkan harta berharga yang terlindungi, baik harta berupa keluarga maupun
harta benda agar dilindungi oleh Yang Maha Esa dari hal-hal yang tidak
diinginkan.
h. Kain
kafan yang bertuliskan “do’a nur buat” dan “ayat kursi” merupakan do’a
pelindung dari segalah mara bahaya seperti santet, teluh dan lainlain, juga merupakan
pagar atau tameng rumah tersebut.
D. Tujuan
Ritual
Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah
berketuhanan. Suku bangsa Jawa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme,
yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda,
tumbuhan, hewan, dan juga pada mausia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah
agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai
kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun buruk. [12]
Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang
ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar
terhindar dari roh tersebut mereka menyembahkan dengan jalan mengadakan ritual-ritual
tersebut dengan sesaji.Dengan dilaksanakannya suatu ritual, kecemasan manusia
dirasa berkurang akibat memperoleh semacam perasaan baru mengenai daya
kekuatannya sendiri.
Menganggap bahwa dirinya sebagai makhluk
yang tak hanya selalu tunduk pada kesulitankesulitan, tapi juga mampu mengatur
dan mengatasi lewat bantuan energi spiritual.[13]
Ritual diharapkan menjadi kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan
Yang Gaib. Dilihat dari kepercayaan dan serangkaian pranata sesaji yang
digunakan dalam ritual tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari
adanya ritual kudo-kudo tersebut adalah:
a. Pelaksanaan
ritual pasang kudo-kudo dilakukan oleh masyarakat adalah agar keluarga mereka
terlindungi dari roh yang jahat, dan meminta berkah dari roh yang baik.
Masyarakat Jawa percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah
roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar
b. Manusia
yang masih hidup, terutama bagi roh-roh halus yang semula dianggap sebagai
penunggu tempat didirikannya rumah baru tersebut. Makhluk-makhluk halus ini ada
yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus
berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak,
yaitu dengan memberikan berbagai sesaji dalam sebuah ritual.
c. Agar
terhindar dari bala’ (mara bahaya), oleh karena itu mereka melaksanakan
ritual kudo-kudo yang juga diliputi selametan, juga untuk menyedekahi
para leluhur mereka.
d. Ritual
tersebut juga merupakan media bersyukur terhadap karunia Allah Yang Maha Esa,
sehingga mampu mendirikan sebuah rumah baru dengan bersedekah.
E. Pengaruh
Ritual
Ritual yang selama ini kita kenal
menyediakan ruang kognitif yang bebas bagi individu dalam komunitasnya. Ritual
menuntut partisitasi aktif setiap warganya. Tidak ada penonton dalam sebuah
ritual, semuanya adalah peserta. Begitupula dalam ritual pasang kudo-kudo yang
membedakan disini adalah terdiri dari shohibul hajjah selaku
penyelenggara ritual dan peserta, baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak.
Salah satu fungsi utama dari ritual adalah untuk memperluas ruang hidup
masyarakat penganutnya. [14]Ritual
yang terus menerus diulang akan memperluas ruang kefahaman dan kepercayaan
antarindividu dalam suatu komunitas masyarakat. Dari sini, sistem kebudayaan
suatu masyarakat bisa terus dibangun. Adanya ritual pasang kudo-kudo memberi
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat desa Damarsi, terutama dalam hal
sosial. Dalam hal sosial kemasyarakatan ritual pasang kudo-kudo mempunyai
dampak yang besar terutama dalam menjalin silaturahmi, tolong-menolong serta
gotong royong antarwarga yang dapat terrealisasikan dari sepanjang prosesi
ritual yang turut andil dan sebagian besar wong soyo berasal dari hampir
seluruh saudara dan tetangga sekitar sehingga dalam ritual ini keharmonisan
yang terdapat dalam masyarakat desa Krandegan selalu tercipta.
Pada kesempatan ini juga para warga,
tetangga, sanak keluarga yang jauh maupun dekat dapat berkumpul untuk berdo’a
bersama, makan bersama meskipun secara sederhana, ini merupakan suatu sikap
sosial yang mempunyai makna turut berbahagia atas rizky berupa rumah baru
kepada shohibul hajjah. Sedangkan ditinjau dari pengaruh ritual pasang
kudo-kudo dalam hal keagamaan juga sangatlah besar dan tidak menyimpang dari
ajaran agama Islam, karena dengan digelarnya acara selamatan yang mengiringi
acara pasang kudo-kudo dapat mengingatkan kita akan rizki dan kenikmatan yang
telah diberikan Tuhan Yang Maha Kaya kepada kita semua dan memacu kita untuk
selalu bersyukur dengan cara bershodaqoh kepada tetangga sekitar dan sanak
keluarga dan yang lebih penting adalah meningkatkan keimanan dengan kita memuji
Asma Allah, hal ini dapat dilihat dari serangkaian ritual yang masih mengandung
unsur kejawen, namun telah dikemas ke dalam nilainilai tradisi
keIslaman, seperti tadarus al-Qur’an, pembacaan sholawat nabi hingga pembacaan
do’a yang bernuansa Islami.
F. Pandangan Agama
Secara teoritas Islam adalah
agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad
sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya adalah membawa ajaran yang bukan hanya
mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai
segi dari kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah
al- Qur’an dan Hadist.Sumber-sumber ajaran Islam yang merupakan pilar penting
kajian Islam dimunculkan agar dikursuskan dan paradigma keislaman tidak keluar
dari sumber asli, yaitu al-Qur’an dan Hadits.[15]
Kedua sumber ini sebagai pijakan dan pegangan dalam mengakses wacana pemikiran
dan membumikan praktik penghambaan kepada Tuhan, baik bersifat teologis maupun
humanistis.
Berpijak pada arti Islam
yang berarti ketundukan, keselamatan, dan kedamaian, maka pengkajian Islam
dapat mengarah pada tiga hal yaitu;
pertama, Islam yang bermuara pada
ketundukan atau berserah diri. Sikap berserah diri kepada Tuhan itu secara
inheren mengandung konsekuensi,yaitu pengakuan yang tulus bahwa Tuhan merupakan
satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak.
Kedua, Islam dapat
dimaknai yang mengarah kepada keselamatan dunia dan akhirat sebab pada
hakikatnya ajaran Islam membina dan membimbing untuk berbuat kebajikan dan
menjahui semua larangan dalam kehidupan di dunia termasuk kehidupan akhirat.
ketiga, Islam
bermuara pada kedamaian. Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber.Manusia,
yang merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga diciptakan dari sumber,
yakni thin melalui seorang ayah dan ibu, sehingga manusia harus
berdampingan dan harmonis dengan manusia yang lain, berdampingan dengan makhluk
hidup lain, bahkan berdampingan dengan alam raya.[16]
Adanya acara selametan dan
ritual pasang kudo-kudo dapat pula dihubungkan ke dalam tiga kategori di atas,
dimana di dalam prosesi selamatan ini juga terdapat pujian-pujian,
bacaan-bacaan serta do’a-do’a keislaman guna mengungkapkan rasa berserah diri
dan taqorrub pada Dzat Yang Maha Esa demi memperoleh keselamatan hidup
di dunia maupun diakhirat seperti pada nama acara tersebut yaitu selametan.
Dengan dilaksanakannya acara ritual selametan yang mengiringi ritual
pasang kudokudo ini juga bertujuan untuk menjalin tali solidaritas dan
silaturahmi guna mendapat kehidupan yang damai seperti dengan ajaran Islam.
Meskipun tidak sedikit pula yang menilai adanya selametan dan ritual
pasang kudo-kudo ini merupakan perbuatan bid’ah karena tidak pernah ada pada
zaman Nabi Muhammad SAW dan tidak pula terdapat dalil yang secara spesifik
menjelaskan adanya selametan dan ritual pasang kudo-kudo dalam al-Qur’an
dan Hadits. Anggapan seperti demikian mengacu pada Hadits Nabi yang Mengatakan:
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik
baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan sejelek jeleknya
perkara adalah perkara yang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat, dan
setiap kesesatan itu tempatnya di neraka” (HR.Muslim
no. 867).
Ada pula yang yang menilai
adanya selamatan dan ritual pasang kudokudo sesungguhnya tidak boleh diadakan,
karena pada dasarnya adanya suatu ritual dalam tradisi Jawa itu bersumber dari
tradisi Hindu yang kemudian diserap oleh Islam dan dikemas ke dalam nilai
keislaman. Allah SAW menyuruh kita untuk tidak boleh
mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu
(kebatilan), percampuran dua tradisi tersebut dilarang oleh Agama
Islam berdasarkan pada Firman Allah:
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan
Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu
mengetahuinya" (QS Al Baqarah 42)
Selanjutnya Allah juga berfirman dalam Qalamnya:
مُبِينٌ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al- Baqarah : 208).
Allah menyuruh kepada para
umat untuk ber-Islam secara Kaffah (keseluruan) dan tidak
setengah-setengah dengan menjalankan ajaran yang bukan merupakan ajaran Islam.
Namun, menurut ahlussunnah wal jama’ah hukum melaksanakan selamatan dalam
berbagai moment tertentu itu hukumnya mubah (diperbolehkan) jika di
dalamnya tidak ada kemaksiatan dan kemungkaran.Karena inti dari selamatan
adalah berdo’a kepada Allah, maka selamatan merupakan salah satu bentuk
palaksanaan ajaran agama, seperti yang dalam al-Qur’an Surah al-Mu’min ayat 60
yang mana dengan adanya dalil tersebut dapat menguatkan tentang adanya selamatan
dan ritual dalam tradisi ke-Islaman, dalam Surah tersebut Allah SWT
berfirman:
“Dan Tuhanmu
berfirman,”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan aku perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku (Berdo’a
kepada-Ku) akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (Q.S. al-Mu’min/40: 60)
Berdasarkan ayat tersebut
para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah mengajarkan agar sebelum berdo’a dalam selamatan
hendaknya di bacakan kalimah-kalimah tayyibah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, sehingga segala hajat dan do’anya terkabul.
PENUTUP
Ritual pasang kudo-kudo adalah salah
satu bentuk ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya masyarakat
desa Damarsi ketika membangun rumah baru dan pembangunan rumah tersebut sudah
mencapai puncaknya yaitu membuat kerangka atap rumah (genting rumah). Dinamakan
ritual pasang kudo-kudo karena salah satu pranata sesaji yang menjadi inti dari
ritual ini menggunakan batang tebu dan padi yang dipasang berdiri dan daunnya
berumbai hingga menyerupai sebuah ekor kuda yang dipasang di salah satu sudut atap
rumah. Diambil dari kata kuda tersebut, lidah orang Jawa menyebutnya sebagai
kudo-kudo. Prosesi jalannya ritual pasang kudo-kudo ini dimulai pada malam
harinya,sebelum acara inti dari ritual tersebut shohibul hajjah mengelar
acara yang biasa disebut dengan lek-lek’an, hingga pada pagi harinya
acara dilanjutkan dengan sesi selametan yang dipimpin oleh shohibul
hajjah atau wakilnya untuk berdo’a bersama.
Setelah sesi selamatan usai
dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara inti yaitu memasang segala pranata sesaji
yang digunakan dalam acara ritual tersebut di salah satu sudut atap
rumah.Adapun pranata sesaji yang digunakan dalam ritual pasang kudo-kudo
tersebut antara lain dibagi menjadi dua yaitu sesaji yang digunakan dalam selametan, meliputi empat bubur sengkala,
dua macam nasi yaitu nasi putih dan nasi kuning, dan ingkung ayam.
Sedangkan pranata sesaji yang digunakan dalam inti ritual pasang kudo-kudo itu
adalah setangkup buah pisang raja, seikat padi,sebuah kelapa tua, satu batang
tebu beserta rumbai daunnya, satu wadah penuh beras, bendera merah putih, kain
kafan putih dan paku emas. Tujuan dari dilaksanakannya ritual pasang kudo-kudo
tersebut adalah agar keluarga yang tinggal di dalam rumah tersebut terhindar
dari marah bahaya, dan terlindung dari gangguan roh jahat, serta merupakan
media bersyukur atas rizki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa berupa rumah
baru.
[1]
Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Yogyakarta: Penerbit
Djambatan, 1954),
103.
[2] Berkah berasal
dari bahasa Arab, barakah – barakat (pl.), yang dalam bahasa Inggris
berarti
blessing atau benediction
(do’a, untung, berkah). Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic (London:
Macdonald & Evans LTD, 1974), 54. Istilah berkah dipakai oleh orang
Jawa
ketika ingin memperoleh keuntungan yang bersifat ghaib.
[3] Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan
Budaya Lokal, Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam
Tafsir Al-Huda
Karya Bakri Syahid (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2010),
92-93.
[6] Suprianto,salah
satu warga masyarakat,wawancara,Krandegan,27
mei 2017
[7] Harun
Ar-Rasyid,salah satu tokoh adat masyarakat ,wawancara,Krandegan,27
mei 2017
[8] Fatoni,salah
satu warga masyrakat,wawancara,Krandegan,28
mei 2017
[9]
Sri Astuti,salah satu warga masyarakat,wawancara,Krandegan,28
mei 2017
[10]
Budiono
Herusatoto. Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita, 1983),
29-30.
[11]
Karminem,salahsatu warga masyarakat,Wawancara,Krandegan,28 Mei 2017
[12] Susianti,Salah
satu warga masyarakat,Wawancara,28
mei 2017
[13]
Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Yogyakarta: Penerbit
Jembatan, 1954),
103.
[14] Ibid
[15] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: Universitas
Indonesia,
1985), 24.
[16] M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997),378.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar