Senin, 05 Juni 2017

Contoh Karya Ilmiah tentang Ritual Pasang Kuda-Kuda



TRADISI SLAMETAN KUDA-KUDA  RUMAH
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(DI DESA KRANDEGAN,KECAMATAN GADING REJO,KABUPATEN PRINGSEWU)
Dosen Pengampu  :     Dr.Fitri Yanti,M.A
Penyusun          :     Wahyu Prayogi
NPM          :    1541010198
Jurusan :   Komunikasi Dan Penyiaran Islam           
Semester/Kelas : 4/C

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

Abstract

            Research was conducted in one of the small villages in Gading Rejo Sub-district, Pringsewu District, exactly in Krandegan village. This study examines the in the process of building a new house that is still strongly held by most villagers Krandegan.Penelitian this done with the aim to reveal the phenomenon of kudo-kudo pairs of rituals are still very done in the modern era and still affect the religious and social behavior of village communities Krandegan.Ritual pairs of kudo-kudo is one form of ritual that is still attached to the tradition of Krandegan villagers in every new house building which is also accompanied by selametan. Called as a ritual pairs of kudo-kudo is because the ritual uses a sugarcane rod and its leaves are tufted and mounted standing on one of the roof poles of the house so as to resemble a horse. This kudo-kudo pairs ritual is one of the celebration events of everyone to carry out the salvation that has been.
Become the traditions of society.Java in certain moments.Methods This research with heuristic stages, historical sources of criticism, interaction, and histography. This research shows that with the existence of kudo-kudo pairs ritual performed by Krandegan villagers have a positive influence as a medium of gratitude for the blessings of God Almighty who has given rizki so as to be able to establish a new house. Against social and religious values. Positive influences shown in this research are: Religious aspect, that is Krandegan village community more often read prayer together and give thanks in charity. Social aspect, which is to strengthen the rope of kinship between citizens by working together in building a house.




Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu desa kecil di Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu tepatnya yaitu di desa Krandegan. Penelitian ini mengkaji tentang  dalam proses pembangunan rumah baru yang masih sangat dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat desa Krandegan.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap fenomena ritual pasang kudo-kudo yang masih sangat dilakukan dalam era modern dan masih berpengaruh terhadap prilaku keagamaan dan sosial masyarakat desa Krandegan.Ritual pasang kuda-kuda adalah salah satu bentuk ritual yang masih melekat pada tradisi masyarakat desa Krandegan dalam setiap membangun rumah baru yang juga disertai dengan selametan. Disebut sebagai ritual pasang kudo-kudo yaitu karena ritual tersebut menggunakan batang tebu beserta daunnya yang berumbai dan dipasang berdiri di salah satu tiang atap rumah sehingga menyerupai ekor kuda.Ritual pasang kudo-kudo ini merupakan salah satu acara hajatan setiap orang untuk melaksanakan selamatan yang sudah menjadi tradisi masyarakat.Jawa dalam berbagai moment tertentu.
 Metode Penelitian ini dengan tahap heuristik,kritik sumber sejarah,interretasi,dan histografi. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya ritual pasang kudo-kudo yang dilakukan oleh masyarakat desa Krandegan memiliki pengaruh positif yaaitu sebagai  media bersyukur terhadap nikmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rizki sehingga mampu mendirikan sebuah rumah baru. terhadapsegi sosial dan keagamaan. Pengaruh positif yang ditunjukkan dari penelitian ini adalah: Segi keagamaan, yaitu masyarakat desa Krandegan  menjadi lebih sering membaca do’a bersama dan bersyukur dengan cara bersedekah. Segi sosial, yaitu mempererat tali kekerabatan antar warga dengan bergotong royong bersama dalam membangun rumah.





PENDAHULUAN

A.  Pengertian Ritual
Ritual secara harfiah di katakan sebagi suatu kegiatan yamg dilakukan oleh sekelompok orang atau perorangan dengan tata cara tertentu.Bedasarkan ilmu antropologi agama ritual dapat di artikan sebagai pelaku tertentu yang bersifat formal,di lakukan dalam waktu tertentu secara berkala,bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis,melainkan menunjuk pada tindakan  yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan mistis. Sedangkan  di dalam kamus besar Bahasa Indonesia,mengartikan arti ritual adalah hal ihwal ritus atau tata cara dalam upacara keagamaan.Upacara ritual  adalah sisitem atau rangkaian tindakan atau yang di tata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai peristiwa yang terjadi saling dalam masyarakat yang bersangkutan.Menurut Homans,C Anthony Wallace dari segi jangkauan,Ritual dapat di bedakan menjadi:
a.       Ritual sebagai teknologi,seperti upacara yamg berhubungan dengan kegiatan pertanian dan pemburuan.
b.      Ritual sebagai terapi,seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak di inginkan.
c.       Ritual sebagai ideologis-mitos dan ritual tergabung mengendalikan suasana perasaan hati,prilaku,sentimen,dan nilai untuk kelompok yang baik,
d.      Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali..
Dari segi tujuan,ritual dapat dibedakan menjadi 3,yaitu:
a.       Ritual yang bertujuan untuk bersyukur kepada Tuhan
b.      Ritual bertunjuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
c.       Ritual yang bertujuan mendapatkan keselamatan dan rahmat dari Tuhan
d.      Ritual bertujuan untuk memintana ampun atas kesalahan yang dilakukan.
            Adat istiadat atau ritual suatu bangsa itu mulanya timbul dari kepercayaan agama yaitu pada zaman dahulu manusia sudah mempercayai aliran dinamisme dan animisme sebelum datangnya agama  Hindu,Budha dan Islam.Contoh adat budaya yang masih bertahan sampai sekarang adalah Selametan Naik Kuda-Kuda  Rumah (KAP),Tahlilan,dan lain sebagainya.

2. Slametan Kuda-Kuda  Rumah (Slametan KAP)
Jawa memiliki berbagai macam budaya lokal yang sudah menjadi sebuah kebudayaan yang khas, dan telah dianggap sebagai ungkapan dan identitas Jawa. Kebudayaan Jawa kental kaitannya dengan adanya mitos-mitos, mereka sangat percaya dengan adanya roh-roh dan daya magis yang ada di alam semesta dan juga alam rohani. Eksistensi keberadaan roh-roh tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ciri utama kebudayaan Jawa pada masa pra-sejarah adalah kepercayaan terhadap adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan hewan yang disebut sebagai kepercayaan animisme. Dalam konsep kepercayaan animisme, semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh, baik yang berwatak buruk maupun baik.[1] Karena itu, masyarakat Jawa merasa perlu melakukan tindakan tertentu untuk menolak kejahatan yang dapat muncul dari roh-roh atau kekuatan ghaib tersebut, dan pada saat yang sama sebagai upaya untuk memperoleh kebaikan darinya berupa berkah.[2]
Biasanya tindakan itu diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual khusus yang disertai dengan sesaji yang juga diiringi dengan acara selametan. Disamping kepercayaan animisme, ciri kebudayaan Jawa pada masa pra-sejarah adalah kepercayaan tentang kekuatan yang menentukan kelangsungan kehidupan seluruhnya.
Kepercayaan inilah yang disebut kepercayaan dinamisme.Baik kepercayaan animisme maupun dinamisme, masing-masing memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk dan memberi warna kebudayaan Jawa.Nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh di dalam masyarakat berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Nilai nilai dan norma-norma itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat pada akhirnya menjadi adat istiadat yang diwujudkan dalam bentuk tata upacara dan masyarakat diharapkan untuk mentaatinya. Demikian pula dalam masyarakat Jawa upacara adat adalah pencerminan bahwa semua perencanaan,tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai yangdipancarkan melalui tata upacara adat merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa yang serba hati-hati agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan keselamatan lahir batin. Masyarakat Jawa mempunyai berbagai tata upacara adat sejak sebelum lahir (janin) sampai meninggal. Setiap tata upacara adat tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri dan sampai saat ini masih cukup banyak yang dilestarikan. Dalam pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan keadaan. [3]
Di samping adat istiadat beserta tata upacaranya (temasuk sesaji) di situ juga mengandung pendidikan budi pekerti, pengetahuan mengenal watak, jenis manusia dan aturan-aturannya. Diantara sekian banyak Budaya Jawa yang masih melekat dalam kehidupan keberagamaan masyarakat Jawa yakni adanya Ritual pasang kudo-kudo,merupakan upacara ritual komunal yang telah mentradisi di kalangan masyarakat Islam Jawa yang diaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yaitu ketika membangun sebuah rumah baru dan pembangunannya telah sampai pada pemasangan kerangka atap rumah.Rumah adalah salah satu kebutuhan primer bagi setiap orang. Bagi orang Jawa rumah dianggap sebagai penopang dan lambang kehidupan, orang yang sudah memiliki rumah berarti orang tersebut dipandang sebagai orang yang sudah mapan dan berkecukupan. Menjadi orang jawa harus berupaya menciptakan kemanunggalan dengan alam dan Tuhan, sehingga ia dituntut untuk mengetahui cara-cara yang beradab dan sepenuhnya sadar akan posisi sosialnya. Orang jawa yang benar adalah yang tahu tatanan. Oleh karena itu, seorang anak belumlah Jawa sebelum ia mengerti etika dan budaya. Dalam pengertian Jawa, budaya bukanlah pengertian antropologi yang kabur, budaya mengandung makna beradab yang bisa berarti bijaksana, menyadari diri dan orang lain, posisi dan tata cara dalam berbagai aspek pergaulan. Oleh karena itu peneliti tertarik inginmengetahui lebih jauh apa yang melatar belakangi pelaksanaan tradisi Slametan Naik Atap Kuda Kuda di desa Krandegan,Kecamatan Gading Rejo,Kabupaten Pringsewu dikaitkan dengan hukum islam sehingga peneliti mengambil judul “ Tradisi Slametan Naik Kuda-Kuda Rumah (KAP) dalam persepektif  Islam”. Bedasarkan Latar Belakang di atas sebagai bahan kajian yaitu :
a.       Apa pengertian dari ritual pasang kudo-kudo tersebut?
b.      Apa sejarah ritual pasang kudo-kudo?
c.       Bagaimana Pelaksanaan tradisi slmetan naik kuda-kuda rumah masyarakat Jawa di desa Krandegan?
d.      Apa saja perlengkapan dari tradisi tersebut?
e.       Apa pengaruh tradisi slmetan naik kuda-kuda rumah?
f.       Bagaimana relevansi tradisi slametan naik kuda-kuda rumah yang ada  di desa Krandegan? 
Dengan melihat  rumusan masalah ini tersebut tujuan penelitian adalah untuk mengetahui makna pelaksanaan tradisi slametan naik  kuda-kuda rumah di desa Krndegan,untuk mengetahui relevansi tradisi slametan naik  kuda-kuda rumah yang ada di desa Krandegan terhadap rukun islam.
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode  Observasi,Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti.Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan prosesi pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo dalam pendirian rumah baru di desa Krandegan ,metode yang ke dua adalah Interview ( wawancara), Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. metode inidigunakan untuk mendapatkan informasi-informasi penting dengan
berdialog dan dengan cara menggali data menggunakan key informan (informasi kunci) yakni para tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat setempat yang telah mengetahui dan turut andil dalam pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo di desa Krandegan.


HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Pengertian Slametan Pasang Kuda-Kuda Rumah di Desa Krandegan
Slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Orang jawa meyakini bahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan. Ritual selamatan ataupun gelar sesajen adalah pristiwa yang sudah diakrabi sejak lahir. Setiap orang Jawa lahir sudah diperkenalkan dengan ritual selamatan kelahiran dengan segala ubo rampe (perlengkapan).Ritual religius yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah selametan,sebab selametan dilaksanakan hampir pada semua peristiwa penting dalam hidup seseorang, terutama juga dalam ritual pasang kudo-kudo ketika seseorang membangun rumah barunya. [4]
Rumah adalah kebutuhan primer yang harus terpenuhi bagi setiap orang, karena rumah adalah tempat bernaung, tempat istirahat, tempat  berkumpul, tempat berlindung, tempat bersosialisasi dan lain-lain.[5] Disamping itu rumah merupakan sebuah identitas kebesaran dan symbol status sosial dari seseorang. Atribut, ukuran dan model yang dapat dilihat secara visual, memiliki arti siapa dan bagaimana kedudukan sosial penghuni tempat tinggal tersebut, karena terkadang orang melihat derajat seseorang dari rumah kediamannya. Oleh sebab itu tidak heran jika orang banyak berbondong bondong mendirikan sebuah rumah. Melihat dari sisi betapa pentingnya sebuah rumah, maka membangun rumah pun tidak asal-asalan dan harus memperhatikan tradisi-tradisi khusus masyarakat setempat yang masih kental terhadap budaya Jawa.
Dalam tradisi Jawa banyak sekali ritual-ritual lokal khusus yang masih dipertahankan keeksistensinya dalam kehidupan, diantaranya yaitu adanya ritual pasang kudo-kudo. Ritual pasang kudo-kudo adalah salah satu dari serangkaian ritual orang Jawa yang dilaksanakan ketika mendirikan sebuah rumah. Ritual ini bukan ritual satu-satunya sebagai syarat dalam pendirian rumah baru, masih ada serangkaian ritual lain yang diantaranya yaitu ritual buka bumi, ritual nguleni umah dan lain-lain. Disebut sebagai ritual pasang kudo-kudo yaitu karena dalam ritual tersebut menggunakan batang tebu dan padi yang dipasang berdiri di salah satu pilar atap umah beserta daun tebu yang berumbai hingga menyerupai ekor kuda. Ritual ini sesungguhnya telah ada pada masa lampau pada kalangan orang-orang primitif, namun ritual ini hingga kini masih dipertahankan dan dijadikan pedoman bagi masyarakat modern.
Bagi orang Jawa dalam membangun sebuah rumah bukan hanya ritual dalam pembangunan rumah tersebut yang harus diperhatikan, namun juga memperhatikan arah hadap rumah tersebut yaitu empat arah mata angin yang disimbolkan: Utara (Dewa Wisnu, matahari, kuning, sumber kehidupan duniawi); Selatan (Dewa Anantaboga atau Nyai Loro Kidul, tanah, hitam, kesabaran dan kasihan); Timur (Dewa Mahadewi, air, biru, keseragaman dan rasa kebersamaan); Barat (Dewa Yamadipati, api, merah, kebinasaan dan kematian). [6]Sejarah asal-usul adanya ritual kudo-kudo yang menjadi sebuah tradisi dalam masyarakat Jawa ini masih simpang siur sejalan dengan sejarah awal masuknya tradisi kejawen yang berasal dari nenek moyang terdahulu dan budaya Hindu-Budha pada masa pra Islam.Akan tetapi adapula yang menyebutkan bahwa asal muasalnya berasal dari kisah Sri Sedana.

B. Pelaksanaan Tradisi Slametan Kuda-Kuda Rumah Di Desa Krandegan
Pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo di desa Krandegan  yaitu ketika pembangunan rumah seseorang yang sudah mencapai puncaknya, yakni ketika memasang atap rumah. Ritual ini dilasanakan pada hari-hari yang dikehendaki dan dianggap hari yang baik oleh shohibul hajjah,namun kebanyakan masyarakat memilih melaksanakan ritual tersebut pada hari-hari yang memiliki nilai 13 menurut hitungan orang Jawa, karena menurut kepercayaan orang Jawa hari yang bernilai 13 mempunyai arti “Gedong” yang berarti “Rumah” dan mempunyai maksud “dapat menjadi kaya”, diantara hari yang bernilai 13 yaitu hari kamis legi, senin pahing,jum’at pon, sabtu wage, ahad kliwon. Untuk dapat mengetahui dan menghitung hari-hari tersebut dalam ilmu kejawen waktu dikelompokkan menjadi hari dan pasaran. Sebagaimana hari biasa itu ada tujuh ialah:[7]
a.       Senin (somo) neptunya = 4
b.      Selasa (hangoro) neptunya = 3
c.       Rabu (budo) neptunya = 7
d.      Kamis (respati) neptunya = 8
e.       Jum’at (sukro) neptunya = 6
f.       Sabtu (jumpak) neptunya = 9
g.      Ahad (adite) neptunya = 5
Sedangkan pasarannya ada lima yaitu:
a.    Wage neptunya = 4
b.   Kliwon neptunya = 8
c.    Legi neptunya = 5
d.   Pahing neptunya = 9
e.    Pon neptunya = 7
Pada malam hari sebelum pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo, diadakan bentuk ritual kecil, ritual ini dimaksudkan untuk untuk mendekatipara bidadari atau roh-roh halus supaya melindungi shohibul hajjah dari marabahaya yang mengganggu jalannya ritual inti yang dilakukan esok hari dan hari-hari sesudahnya. Untuk itu seluruh anggota keluarga shohibul hajjah tidak boleh tidur hingga tengah malam. Karena sakralnya acara ini semestinya para tamu yang terdiri dari para tetangga dekat dan para anggota keluarga harus melakukannya dengan khusu’ dan khidmat. Dikalangan orang yang taat beragama dalam acara ini diisi oleh pembacaan tahlil, manaqiban, tadarrus al-Qur’an, pembacaan kitab mulidud diba’ dan sebagainya. Tapi dikalangan orang yang kurang taat dalam agama biasanya mengisi acara ini dengan hanya bercengkrama dan bersenda gurau menikmati hidangan, bagi mereka yang penting adalah tidak tidur. Acara ini disebut dengan lek-lekan. [8]
Pagi hari sebelum melaksanakan ritual pasang kudo-kudo terlebih dahulu shohibul hajah wajib menyiapkan berbagai macam makanan, ingkung ayam dan bubur sengkala, untuk dihidangkan dimakan bersama sanak saudara, para pekerja, wong soyo yang turut andil dalam membangu rumah dan tetangga-tetangga sekitarnya. Kegiatan inilah yang disebut orang Jawa sebagai “selametan”, yang diyakini sebagai sarana spiritual yang mampu mengatasi segala bentuk krisis yang melanda serta bisa mendatangkan berkah bagi mereka. Adapun obyek yang dijadikan sarana pemujaan dalam selametan ini adalah ruh nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan magis.Disamping itu,selametan juga sebagai sarana mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur, yaitu para ruh nenek moyang.Di dalam acara selametan ini biasanya diawali dengan sambutan pengantar dari shohibul hajjah atau yang mewakili, kemudian dilanjutkan dengan bacaan-bacaan yang menjadi pokoknya yaitu pembacaan surah al-Fatihah sebagai tawassul yang ditujuhkan kepada Nabi Muhammad wa ‘ala alihi,para sahabat Nabi, para Anbiya’, para Waliyullah, dan ahli kubur, kemudian pembacaan sholawat Nabi (mahallul qiyam) dan ditutup donga (do’a). Dalam selametan ini yang bertugas memimpin acara dan do’a adalah shohibul  hajjah. Selain itu, juga terdapat berbagai makanan yang dibawa pulang oleh para peserta selametan yang disebut sebagai berkat.
Setelah acara selametan usai dilaksanakan, para pekerja, wong soyo, shohibul hajah dan tokoh pemuka masyarakat kembali pada acara intinya yakni memasang kudo-kudo dan seperangkat sesaji lainnya seperti seikat padi, tebu, sebuah kelapa tua, setangkup buah pisang (dua tudung pisang) raja, bendera merah putih dan satu wadah beras penuh yang seluruhnya disusun rapi dan diletakkan di salah satu sudut atap rumah, pemasangan ini dilakukan oleh shohibul hajjah dan dibantu oleh orang-orang yang sudah ahli dalam hal ini. Budaya Jawa memahami kepercayaan pada berbagai macam roh yang dapat menimbulkan musibah, bahaya, kecelakaan, atau penyakit apabila mereka dibuat marah karena mengganggunya atau penganutnya tidak berhatihati.[9] Untuk menangkal semua itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen dalam berbagai moment yang dianggap penting dalam kehidupannya, yang dipercaya dapat menghindarkan manusia dari berbagai hal yang tidak diinginkan. Setelah pemasangan sesaji ritual kudo-kudo hari berikutnya mulai dipasang pilar-pilar atap rumah yang mana salah satu pilar tersebut dibungkus dengan kain kafan (kain putih) yang bertuliskan “do’a nur buat” dan ayat kursi” dan didalamnya diletakkan sebuah paku emas yang ditancapkan. Dan dilanjutkan pembangunannya kembali yaitu dengan penataan genting-genting rumah.Do’a Nur Buat yaitu do’a perlindungan dari segalah kejahatan seperti sihir, santet, dan lain sebagainya. Setelah segeralah sesaji dan seluruh prosesi sudah terlaksana dan rumah sudah berdiri lengkap beserta atap-atapnya, maka selesai pula acara ritual tersebut dan rumah sudah siap untuk dihuni.\

C. Perangkat dan Pranata Sesaji
Bagi orang Jawa, dunia mengandung simbolisme, dan melalui simbolsimbol inilah seseorang merenungkan kondisi manusia dan berkomunikasi  dengan Tuhan. Adaya ritual pasang kudo-kudo tersebut merupakan salah satu dari budaya masyarakat yang penuh dengan simbol-simbol. Sebagai mahkluk yang berbudaya, segala tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa,ilmu pengetahuan maupun religinya selalu diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol-simbol. Simbolisme selain menonjol perananya dalam hal religi juga menonjol peranannya dalam hal tradisi atau adat istiadat. Dalam hal ini simbolisme dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda.
Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol.[10]Terlepas dari perlu atau tidaknya suatu ritual digelar, yang  jelas untuk memahami ubo rampe atau perlengkapan sajen upacaranya saja masyarakat zaman sekarang banyak yang tidak tahu. Bahkan tidak sedikit orang menilai munculnya ubo rampe sajen dalam sebuah ritual Jawa justru dianggap sebagai pemuja setan. Meslipun tidak sedikit pula yang menepis bahwa ubo rampe justru menjadi manifestasi rasa syukur atau perlambangan suatu permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana sering kita temui, ketika akan melaksanakan suatu kegiatan atau ritual, terutama kegiatan yang penting dan telah menjadi adat istiadat masyarakat perlu dipersiapkan adanya sesuatu sebagai perlengkapannya terlebih dahulu. Semua ini dimaksudkan agar kegiatan yang dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun perlengkapan dan pranata sesaji yang digunakan dalam selametan antara lain:[11]
a.       Empat bubur, yang dua diantaranya bubur merah dicampur sedikit bubur putih dan dua lainnya yaitu bubur putih dicampur sedikit bubur merah, yang disebut dengan “Bubur Sengkala”. Bubur ini disediakan sebagai sesaji ketika melaksanakan selametan, fungsinya sebagai penolak balak
b.      atau penolak terhadap musibah yang kelak mungkin akan menimpah. Bubur ini disajikan dengan posisi berjajar dan searah dengan maksud agar perjalanan hidup penghuni rumah tersebut berjalan dengan lancar dan lurus serta tidak ada arah yang melintang.
c.       Berbagai macam makanan, makanan ini terdiri
d.       dari dua macam nasi yaitu nasi putih dan nasi kuning beserta berbagai macam lauk pauknya.Makanan ini disajikan dalam selametan, fungsinya nasi putih sebagai lambang kesucian dan nasi kuning sebagai lambang kecintaan. Maksudnya adalah agar keluarga yang tinggal dirumah dapat menciptakan suasana saling mencintai satu sama lain.
e.       Ingkung ayam, satu ekor ayam jantan dimasak utuh (dibersihkan bulunya dan dikeluarkan isi perutnya) dengan dipanggang menggunakan tusuk yang besar. Maknanya adalah kesucian, bahwa setiap yang diahirkan kedunia dalam keadaan suci, atau dimaknai juga sebagai sikap pasrah dan menyerah atas kekuasaan Tuhan. Orang Jawa mengartikan kata ”ingkung” dengan pengertian dibanda adau dibelenggu. Adapun berbagai macam perlengkapan yang digunakan sebagai pranata sesaji dalam ritual pasang kudo-kudo diantaranya yaitu:
a.       Setangkup buah pisang yang berarti dua tudung buah pisang raja, menggunakan pisang raja karena pisang raja dipercaya oleh orang-orang Jawa sebagai simbol tercapainya sebuah permintaan atau impian.
b.      Seikat padi, seikat padi ini melambangkan rasa syukur dari hasil kerja keras atau jerih payah selama ini hingga dapat mendirikan sebuah rumah.
c.       Sebuah kelapa tua, buah kelapa tua ini dimaksudkan sebagai simbol keselamatan dan kesejahteraan, agar penghuni rumah tersebut mendapatkan keselamatan dan perlindungan dan mencapai hidup yang sejahtera.
d.      Satu batang tebu beserta rumbai daunnya, batang tebu juga mencerminkan bentuk keselamatan, sedangkan rumbai daunnya melambangakan naungan atau tempat berlindung. Maksudnya adalah agar kelak rumah tersebut dapat dijadikan sebagai tempat perindungan dan tempat bernaung dari segala bentuk mara bahaya yang mengancam, seperti berlindung dari panas matahari, hujan, petir dan lain sebagainya, sehingga mendapatkan keselamatan.
e.       Satu wadah beras, beras ini melambangkan sandang pangan, maksudnya agar penghuni rumah tersebut kelak akan tercukupi dipermudahkan jalan rizkinya. Beras tersebut diisi penuh sesuai wadahnya dimaksudkan agar rizki yang telah dianugrahkan kepadanya selalu cukup dan tidak berkurang.
f.        Bendera merah putih, bendera ini memiliki maksud sebagai “Umbulumbul supoya ndang mumbul”, maksudnya adalah agar pendirian rumah tersebut cepat berdiri dan pembangunannya lebih cepat selesai.
g.      Sebuah paku yang terbuat dari emas. Paku ini diletakkan pada kayu pilar atap rumah yang dilubangi seukuran paku hingga seolah-olah paku tersebut menancap pada kayu, kemudian kayu dan paku tersebut dibungkus dengan kain kafan. Paku ini melambangkan harta berharga yang terlindungi, baik harta berupa keluarga maupun harta benda agar dilindungi oleh Yang Maha Esa dari hal-hal yang tidak diinginkan.
h.      Kain kafan yang bertuliskan “do’a nur buat” dan “ayat kursi” merupakan do’a pelindung dari segalah mara bahaya seperti santet, teluh dan lainlain, juga merupakan pagar atau tameng rumah tersebut.

D. Tujuan Ritual
Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan. Suku bangsa Jawa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan, hewan, dan juga pada mausia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun buruk. [12] Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahkan dengan jalan mengadakan ritual-ritual tersebut dengan sesaji.Dengan dilaksanakannya suatu ritual, kecemasan manusia dirasa berkurang akibat memperoleh semacam perasaan baru mengenai daya kekuatannya sendiri.
Menganggap bahwa dirinya sebagai makhluk yang tak hanya selalu tunduk pada kesulitankesulitan, tapi juga mampu mengatur dan mengatasi lewat bantuan energi spiritual.[13] Ritual diharapkan menjadi kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan Yang Gaib. Dilihat dari kepercayaan dan serangkaian pranata sesaji yang digunakan dalam ritual tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari adanya ritual kudo-kudo tersebut adalah:
a.       Pelaksanaan ritual pasang kudo-kudo dilakukan oleh masyarakat adalah agar keluarga mereka terlindungi dari roh yang jahat, dan meminta berkah dari roh yang baik. Masyarakat Jawa percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar
b.      Manusia yang masih hidup, terutama bagi roh-roh halus yang semula dianggap sebagai penunggu tempat didirikannya rumah baru tersebut. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai sesaji dalam sebuah ritual.
c.       Agar terhindar dari bala’ (mara bahaya), oleh karena itu mereka melaksanakan ritual kudo-kudo yang juga diliputi selametan, juga untuk menyedekahi para leluhur mereka.
d.      Ritual tersebut juga merupakan media bersyukur terhadap karunia Allah Yang Maha Esa, sehingga mampu mendirikan sebuah rumah baru dengan bersedekah.



E. Pengaruh Ritual       
Ritual yang selama ini kita kenal menyediakan ruang kognitif yang bebas bagi individu dalam komunitasnya. Ritual menuntut partisitasi aktif setiap warganya. Tidak ada penonton dalam sebuah ritual, semuanya adalah peserta. Begitupula dalam ritual pasang kudo-kudo yang membedakan disini adalah terdiri dari shohibul hajjah selaku penyelenggara ritual dan peserta, baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak. Salah satu fungsi utama dari ritual adalah untuk memperluas ruang hidup masyarakat penganutnya. [14]Ritual yang terus menerus diulang akan memperluas ruang kefahaman dan kepercayaan antarindividu dalam suatu komunitas masyarakat. Dari sini, sistem kebudayaan suatu masyarakat bisa terus dibangun. Adanya ritual pasang kudo-kudo memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat desa Damarsi, terutama dalam hal sosial. Dalam hal sosial kemasyarakatan ritual pasang kudo-kudo mempunyai dampak yang besar terutama dalam menjalin silaturahmi, tolong-menolong serta gotong royong antarwarga yang dapat terrealisasikan dari sepanjang prosesi ritual yang turut andil dan sebagian besar wong soyo berasal dari hampir seluruh saudara dan tetangga sekitar sehingga dalam ritual ini keharmonisan yang terdapat dalam masyarakat desa Krandegan selalu tercipta.
Pada kesempatan ini juga para warga, tetangga, sanak keluarga yang jauh maupun dekat dapat berkumpul untuk berdo’a bersama, makan bersama meskipun secara sederhana, ini merupakan suatu sikap sosial yang mempunyai makna turut berbahagia atas rizky berupa rumah baru kepada shohibul hajjah. Sedangkan ditinjau dari pengaruh ritual pasang kudo-kudo dalam hal keagamaan juga sangatlah besar dan tidak menyimpang dari ajaran agama Islam, karena dengan digelarnya acara selamatan yang mengiringi acara pasang kudo-kudo dapat mengingatkan kita akan rizki dan kenikmatan yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kaya kepada kita semua dan memacu kita untuk selalu bersyukur dengan cara bershodaqoh kepada tetangga sekitar dan sanak keluarga dan yang lebih penting adalah meningkatkan keimanan dengan kita memuji Asma Allah, hal ini dapat dilihat dari serangkaian ritual yang masih mengandung unsur kejawen, namun telah dikemas ke dalam nilainilai tradisi keIslaman, seperti tadarus al-Qur’an, pembacaan sholawat nabi hingga pembacaan do’a yang bernuansa Islami.

F.   Pandangan Agama
Secara teoritas Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya adalah membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah al- Qur’an dan Hadist.Sumber-sumber ajaran Islam yang merupakan pilar penting kajian Islam dimunculkan agar dikursuskan dan paradigma keislaman tidak keluar dari sumber asli, yaitu al-Qur’an dan Hadits.[15] Kedua sumber ini sebagai pijakan dan pegangan dalam mengakses wacana pemikiran dan membumikan praktik penghambaan kepada Tuhan, baik bersifat teologis maupun humanistis.
Berpijak pada arti Islam yang berarti ketundukan, keselamatan, dan kedamaian, maka pengkajian Islam dapat mengarah pada tiga hal yaitu;
pertama, Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri. Sikap berserah diri kepada Tuhan itu secara inheren mengandung konsekuensi,yaitu pengakuan yang tulus bahwa Tuhan merupakan satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak.
 Kedua, Islam dapat dimaknai yang mengarah kepada keselamatan dunia dan akhirat sebab pada hakikatnya ajaran Islam membina dan membimbing untuk berbuat kebajikan dan menjahui semua larangan dalam kehidupan di dunia termasuk kehidupan akhirat.
 ketiga, Islam bermuara pada kedamaian. Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber.Manusia, yang merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga diciptakan dari sumber, yakni thin melalui seorang ayah dan ibu, sehingga manusia harus berdampingan dan harmonis dengan manusia yang lain, berdampingan dengan makhluk hidup lain, bahkan berdampingan dengan alam raya.[16]
Adanya acara selametan dan ritual pasang kudo-kudo dapat pula dihubungkan ke dalam tiga kategori di atas, dimana di dalam prosesi selamatan ini juga terdapat pujian-pujian, bacaan-bacaan serta do’a-do’a keislaman guna mengungkapkan rasa berserah diri dan taqorrub pada Dzat Yang Maha Esa demi memperoleh keselamatan hidup di dunia maupun diakhirat seperti pada nama acara tersebut yaitu selametan. Dengan dilaksanakannya acara ritual selametan yang mengiringi ritual pasang kudokudo ini juga bertujuan untuk menjalin tali solidaritas dan silaturahmi guna mendapat kehidupan yang damai seperti dengan ajaran Islam. Meskipun tidak sedikit pula yang menilai adanya selametan dan ritual pasang kudo-kudo ini merupakan perbuatan bid’ah karena tidak pernah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan tidak pula terdapat dalil yang secara spesifik menjelaskan adanya selametan dan ritual pasang kudo-kudo dalam al-Qur’an dan Hadits. Anggapan seperti demikian mengacu pada Hadits Nabi yang Mengatakan:
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan sejelek jeleknya perkara adalah perkara yang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka” (HR.Muslim no. 867).
Ada pula yang yang menilai adanya selamatan dan ritual pasang kudokudo sesungguhnya tidak boleh diadakan, karena pada dasarnya adanya suatu ritual dalam tradisi Jawa itu bersumber dari tradisi Hindu yang kemudian diserap oleh Islam dan dikemas ke dalam nilai keislaman. Allah SAW menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan), percampuran dua tradisi tersebut dilarang oleh Agama Islam berdasarkan pada Firman Allah:
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya" (QS Al Baqarah 42)
Selanjutnya Allah juga berfirman dalam Qalamnya:
مُبِينٌ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al- Baqarah : 208).
Allah menyuruh kepada para umat untuk ber-Islam secara Kaffah (keseluruan) dan tidak setengah-setengah dengan menjalankan ajaran yang bukan merupakan ajaran Islam. Namun, menurut ahlussunnah wal jama’ah hukum melaksanakan selamatan dalam berbagai moment tertentu itu hukumnya mubah (diperbolehkan) jika di dalamnya tidak ada kemaksiatan dan kemungkaran.Karena inti dari selamatan adalah berdo’a kepada Allah, maka selamatan merupakan salah satu bentuk palaksanaan ajaran agama, seperti yang dalam al-Qur’an Surah al-Mu’min ayat 60 yang mana dengan adanya dalil tersebut dapat menguatkan tentang adanya selamatan dan ritual dalam tradisi ke-Islaman, dalam Surah tersebut Allah SWT berfirman:
 “Dan Tuhanmu berfirman,”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku (Berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (Q.S. al-Mu’min/40: 60)
Berdasarkan ayat tersebut para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah mengajarkan agar sebelum berdo’a dalam selamatan hendaknya di bacakan kalimah-kalimah tayyibah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga segala hajat dan do’anya terkabul.







PENUTUP

Ritual pasang kudo-kudo adalah salah satu bentuk ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa Damarsi ketika membangun rumah baru dan pembangunan rumah tersebut sudah mencapai puncaknya yaitu membuat kerangka atap rumah (genting rumah). Dinamakan ritual pasang kudo-kudo karena salah satu pranata sesaji yang menjadi inti dari ritual ini menggunakan batang tebu dan padi yang dipasang berdiri dan daunnya berumbai hingga menyerupai sebuah ekor kuda yang dipasang di salah satu sudut atap rumah. Diambil dari kata kuda tersebut, lidah orang Jawa menyebutnya sebagai kudo-kudo. Prosesi jalannya ritual pasang kudo-kudo ini dimulai pada malam harinya,sebelum acara inti dari ritual tersebut shohibul hajjah mengelar acara yang biasa disebut dengan lek-lek’an, hingga pada pagi harinya acara dilanjutkan dengan sesi selametan yang dipimpin oleh shohibul hajjah atau wakilnya untuk berdo’a bersama.
Setelah sesi selamatan usai dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara inti yaitu memasang segala pranata sesaji yang digunakan dalam acara ritual tersebut di salah satu sudut atap rumah.Adapun pranata sesaji yang digunakan dalam ritual pasang kudo-kudo tersebut antara lain dibagi menjadi dua yaitu sesaji yang digunakan dalam  selametan, meliputi empat bubur sengkala, dua macam nasi yaitu nasi putih dan nasi kuning, dan ingkung ayam. Sedangkan pranata sesaji yang digunakan dalam inti ritual pasang kudo-kudo itu adalah setangkup buah pisang raja, seikat padi,sebuah kelapa tua, satu batang tebu beserta rumbai daunnya, satu wadah penuh beras, bendera merah putih, kain kafan putih dan paku emas. Tujuan dari dilaksanakannya ritual pasang kudo-kudo tersebut adalah agar keluarga yang tinggal di dalam rumah tersebut terhindar dari marah bahaya, dan terlindung dari gangguan roh jahat, serta merupakan media bersyukur atas rizki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa berupa rumah baru.



[1] Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1954),
103.
[2] Berkah berasal dari bahasa Arab, barakah – barakat (pl.), yang dalam bahasa Inggris berarti
blessing atau benediction (do’a, untung, berkah). Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic (London: Macdonald & Evans LTD, 1974), 54. Istilah berkah dipakai oleh orang
Jawa ketika ingin memperoleh keuntungan yang bersifat ghaib.
[3]  Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal, Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam
Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2010), 92-93.
[4]  http://mytamytaz.blogspot.co.id/ diakses pada tanggal 26 mei 2017
[6] Suprianto,salah satu warga masyarakat,wawancara,Krandegan,27 mei 2017
[7] Harun Ar-Rasyid,salah satu tokoh adat masyarakat ,wawancara,Krandegan,27 mei 2017
[8] Fatoni,salah satu warga masyrakat,wawancara,Krandegan,28 mei 2017
[9] Sri Astuti,salah satu warga masyarakat,wawancara,Krandegan,28 mei 2017
[10] Budiono Herusatoto. Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita, 1983), 29-30.
[11] Karminem,salahsatu warga masyarakat,Wawancara,Krandegan,28 Mei 2017
[12] Susianti,Salah satu warga masyarakat,Wawancara,28 mei 2017
[13] Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Jembatan, 1954),
103.
[14] Ibid
[15] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1985), 24.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat (Bandung: Penerbit Mizan, 1997),378.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar